Selasa, 22 Mei 2012

Cinta tak Bersyarat untuk Anak Adopsi


Tiga tahun yang lalu masa depan Tegar (5) tampak begitu suram. Walau penghuni di Yayasan Sayap Ibu ini memiliki raut muka manis, belum pernah satu pun pengunjung yayasan itu berniat mengadopsinya. Pasalnya, kedua kaki mungil Tegar bengkok dan dipasangi besi. Tentu hal ini membuat para calon orang tua angkat kebanyakan langsung meletakkan Tegar kembali, begitu melihat kaki besinya. Meski satu per satu boks di sisi Tegar berganti penghuni, Tegar tetap tergolek pasrah.

Kisah di atas adalah cerita masa lalu. Karena kini Tegar sudah bisa berlari ceria seperti anak-anak normal lainnya. Ia bisa begini karena pasangan suami istri Hermalia dan Rudiawan Saleh. Mereka mantap memilihnya sebagai anak adopsi, walau saat itu Tegar divonis tak bisa sembuh. Keduanya rela mengeluarkan biaya hingga ratusan juta plus waktu dan energi yang tak terhitung demi kesembuhan Tegar. Padahal, hingga kini status mereka menjadi orang tua angkat Tegar belum lagi resmi, karena prosesnya yang berbelit.


Inilah potret cinta tanpa pamrih, yang seharusnya dijadikan acuan oleh mereka yang ingin mengadopsi anak. Pasalnya, tidak sedikit orang tua adopsi yang mengeluh bahkan mengembalikan anak adopsi, jika di kemudian hari anak itu tumbuh menjadi pribadi yang bermasalah. Inikah akibat dari motivasi pengambilan anak yang rancu? Dan, mengapa sistem pengadopsian legal di Indonesia prosesnya ribet?

ADOPSI DI MATA HUKUM
Menurut Roslina Verauli, kebanyakan masalah yang timbul dari proses adopsi adalah ketidaksiapan orang tua adopsi. Kebanyakan dari mereka mengadopsi anak sebagai objek. Entah motivasinya untuk ‘memancing’ agar memiliki anak kandung, sekadar membagi rezeki, atau dianggap sebagai ‘syarat’ untuk melancarkan rezeki. Atau bisa juga, mengadopsi anak agar hidupnya tidak kesepian.

Masalah lain adalah mereka nekat mengadopsi, padahal ada kekurangan yang belum diselesaikan. Misalnya, rasa frustrasi karena tak bisa memiliki keturunan atau pasangan yang sebetulnya tidak ikhlas menjalankan perannya sebagai orang tua angkat.


Padahal, diakui Vera, panggilan akrab Roslina, dalam proses tumbuh kembang anak sering terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mulai dari anak yang gampang sakit atau cengeng sampai masalah fatal, seperti bertemperamen tinggi atau tingkat kecerdasannya tidak seperti yang diharapkan. Mereka yang kondisinya masih gamang saat mengadopsi, umumnya langsung berpikiran ‘hal ini tidak akan terjadi kalau dia anak kandung’. Padahal, tanpa disampaikan secara lisan pun, pola membanding-bandingkan tersebut akan dirasakan oleh anak.


Menurut Vera, seharusnya tindakan mengadopsi dilakukan bukan sekadar karena merasa siap finansial dan siap berbagi kasih sayang. Jadi, keputusan adopsi sebaiknya dilakukan setelah mampu memenuhi aneka ragam kebutuhan anak. Mulai dari finansial, emosi, sosial, sampai memenuhi kebutuhan anak akan norma dan aturan yang berlaku. Kalau memang belum siap, menurut Vera, masih ada cara berbagi yang lain, yakni dengan program anak asuh. Kalau tetap memaksakan diri, menurut Vera, justru si anaklah yang akan menjadi korban.


Kalau lemahnya sistem adopsi legal, menurut Erna Ratnaning­sih S.H., bisa dilihat dari aturan hukum yang tidak jelas, dan tidak ada penjelasan secara spesifik proses pengangkatan anak. Dalam UU No.23/ 2002 tentang Perlindungan Anak, hanya dinyatakan bahwa pengangkatan anak dilakukan untuk kepentingan yang terbaik pada anak. Selain itu, disyaratkan pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Dan satu lagi, calon orang tua angkat harus seagama dengan agama si calon anak angkat. Sementara, dalam SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 6/1983, walau dicantumkan syarat dan prosedur pengangkatan anak, tak ada klausa yang menginformasikan atau menjamin apabila anak adopsi tidak diurus dengan baik. Padahal, menurut Erna, seharusnya ada peraturan perundangan yang mengatur permohonan pembatalan adopsi.


Ada berapa macam adopsi legal yang dikenal di Indonesia? Menurut SEMA dan Keputusan Menteri Sosial RI No.41/HUK/KEP/VII/1984, ada tiga. Pertama, pengangkatan anak yang dilakukan antarorang tua kandung dengan orang tua angkat yang lebih dikenal dengan adopsi privat. Baik orang tua kandung maupun angkat harus berstatus WNI. Biasanya hal ini dilakukan bila orang tua kandung dan orang tua angkat masih memiliki hubungan kerabat. Baik mereka yang berstatus menikah ataupun lajang dapat melakukannya.


Kedua, pengangkatan anak yang berada dalam asuhan sebuah yayasan sosial. Adopsi tipe ini membutuhkan izin tertulis dari menteri sosial bahwa yayasan tersebut bergerak di bidang pengangkatan anak. Pengadopsian tidak bisa dilakukan di sembarang yayasan. Hingga sekarang, hanya sedikit yayasan di Indonesia yang mendapat izin pemerintah untuk kepentingan adopsi. Adopsi ini bisa dilakukan oleh pasangan WNI yang sudah menikah minimal 5 tahun, lajang, dan WNA yang telah berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya tiga tahun dan sudah menikah. Untuk mereka yang berstatus WNA, tapi masih lajang, tidak diperbolehkan mengadopsi anak. Dari data di Yayasan Sayap Ibu, salah satu yayasan sosial yang berdiri sejak tahun 1955, usia calon orang tua angkat juga tidak boleh sembarangan. Hanya mereka yang berusia antara 30-45 tahun saja yang dianggap kompeten, karena dianggap sudah cukup matang, tapi belum terlalu tua.


Ketiga, adopsi anak WNA oleh orang tua angkat WNI. Adopsi jenis ini harus dilakukan oleh mereka yang telah menikah dan mendapat penjelasan tertulis dari menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk. Untuk pengangkatan anak asing ditambahkan juga dalam UU No.62 tahun 1958, yakni anak yang diangkat usianya harus di bawah 5 tahun.


Apa saja keuntungan dari adopsi legal? Secara hukum, menurut Erna, ada dua, yaitu dari segi perwalian dan hak waris. Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih ke orang tua angkat. Namun, untuk anak perempuan beragama Islam, bila dia menikah maka yang bisa menjadi wali nikah hanya orang tua kandung atau saudara sedarahnya. Hal ini disebabkan karena Islam tidak mengenal hukum adopsi. Sementara, dari segi hak waris, khazanah hukum Indonesia mengenal tiga hukum yang memiliki kekuatan yang sebanding, yakni hukum adat, Islam, dan hukum nasional.


Hukum yang dipilih umumnya dicantumkan dalam surat wasiat orang tua. Sehingga, saat salah satu dari mereka meninggal, tidak akan menimbulkan silang pendapat. Bila mengikuti lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung pada hukum adat yang berlaku. Bila mengikuti hukum Islam, anak angkat hanya dapat mewarisi 1/3 bagian dari harta peninggalan orang tua, yang populer dengan sebutan wasiat wajibah. Sementara, kalau mengikuti hukum nasional, pembagian warisan untuk anak kandung maupun anak angkat adalah sama.

PERJALANAN BERLIKU
Langkah apa yang dilakukan jika Anda memiliki keinginan meng–adopsi privat secara legal? Menurut Erna, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada pengadilan negeri tempat anak yang akan diangkat berdomisili. Isi dari permohonan tersebut adalah motivasi mengangkat anak dan penggambaran kemungkinan kehidupan si anak di masa depan. Untuk itu, Anda perlu mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan finansial dan kestabilan hidup, seperti slip gaji, surat kepemilikan rumah, deposito, dan lainnya.

Menurut Erna, bukti ini yang akan menjadikan bahan pertimbangan hakim. Kalau ternyata tidak punya slip gaji (misalnya karena status wiraswasta), seperti juga pengajuan kredit ke bank, Anda diwajibkan menyertakan fotokopi tabungan Anda. Pertimbangannya, dengan bukti tersebut diharapkan dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam setiap proses pemeriksaan, Anda harus menghadirkan dua orang saksi yang mengetahui seluk-beluk pengangkatan anak tersebut.


Dua saksi itu harus orang yang mengetahui betul tentang kondisi Anda (moril dan materil). Erna menyarankan, saksi tersebut sebaiknya adalah atasan atau ketua RT tempat Anda berdomisili. Bila orang tua kandung si anak masih hidup, sebaiknya mereka hadir di persidangan. Atau, setidak-tidaknya mereka memberi surat keterangan bahwa mereka membolehkan anaknya diangkat oleh orang lain. Hal ini perlu dilengkapi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.


Seperti yang dialami Angelina Sondakh, 30, lajang, yang mengang­kat bayi 9 bulan bernama Christo, dari seorang wanita yang hamil di luar nikah. Ketegangan timbul ketika secara tiba-tiba pria yang mengaku ayah biologis Christo menyatakan ketidaksetujuannya putra kandungnya diadopsi. Akibatnya, hingga sekarang adopsi legal Christo masih terkatung-katung.


Bagaimana prosesnya jika anak angkat yang dirindukan itu di bawah pengasuhan yayasan sosial? Menurut Hj Rin Tjiptowinoto, ketua Yayasan Sayap Ibu Jakarta, yang sudah menangani 320 pengangkatan anak sejak tahun 1995, aturannya memang lebih ribet. Selain tetap mengikuti aturan yang baku, sebelumnya calon orang tua angkat juga harus melengkapi dokumen, melewati tahap wawancara dengan tim Sayap Ibu dan psikolog, serta menunggu rekomendasi hasil dari verifikasi tim PIPA (Perizinan Pengangkatan Anak), setelah calon anak angkat tinggal bersama mereka selama 6 bulan. Kalau ternyata masa pengenalannya dinilai sukses oleh tim PIPA, tim ini baru akan memberikan surat rekomendasi. Surat tersebut dianggap sebagai ‘surat sakti’ karena dengan bermodal surat itu orang tua asuh boleh menjalani sidang pengesahan.


Aturan ini dianggap Rin perlu dilakukan untuk mencegah praktik trafficking dan menjamin kesiapan anak angkat maupun orang tua asuh. Diakui Rin, untuk proses di atas dibutuhkan waktu sekitar 8-9 bulan, sebelum akhirnya anak tersebut sah diangkat oleh orang tua asuh melalui proses sidang. Sayangnya, sidang ini sering tertunda karena tim PIPA hanya mengadakan rapat setahun sekali. Hal inilah yang membuat calon orang tua asuh kerap mencak-mencak tidak sabar. Proses birokrasi yang lelet ini juga dialami Hermalia dan Rudiawan Saleh. Hampir dua tahun proses pengangkatan legal Tegar belum juga terwujud. Toh, demi Tegar tercinta, mereka tetap bersabar.


Bagaimana dengan proses adopsi oleh lajang? Benarkah lebih sulit, terutama pada adopsi yang sifatnya privat? Seperti yang dialami oleh Angelina. Padahal, Christo sudah diasuhnya sejak masih dalam kandungan. Bahkan, Christo adalah anak angkat kedua, karena dua tahun lalu ia juga telah mengadopsi Rena (4) dari kerabatnya.


Saking putus asa dengan status Christo yang belum jelas, akhirnya Angelina membiarkan Christo diadopsi oleh kakaknya yang sudah menikah, meski dalam praktik sehari-hari, pengasuhan anak dilimpahkan kepadanya. “Rencananya, nanti setelah menikah, saya akan mengadopsi Christo secara legal,” ujar Angelina, tegas. Toh, walau telah dilimpahkan kepada kakak, proses adopsi tersebut masih tersangkut. Rupanya, ayah biologis Christo belum mau memberikan surat pernyataan resmi.


Dari mata Erna, proses pengesahan adopsi lajang terbilang berbelit, karena hakim ingin yakin sekali dengan kemampuan dan kemauan si lajang mengasuh anak. Karena itu, mereka kerap memberi pertanyaan secara detail dan mengevaluasi lebih lama. Ini umumnya terjadi di kasus adopsi privat. Pasalnya, hukum Indonesia memberikan keleluasaan pada hakim untuk menentukan apakah orang tua angkat mampu mengasuh atau tidak. Di mata hakim, seorang lajang tentu akan lebih sulit mengatur waktu untuk si anak, terutama bila dia harus bekerja penuh untuk membiayai kebutuhan si anak. Belum lagi jika di kemudian hari, saat si lajang menikah, pasangannya tidak berniat mengadopsi.


Hal ini dibenarkan oleh Vera. Menurutnya, pantas saja hakim ragu mengesahkan status adopsi anak pada si lajang. Pasalnya, riset membuktikan bahwa orang yang sudah menikahlah yang lebih konsisten dalam melakukan pola asuh dibanding si lajang. ”Orang sudah menikah dianggap lebih stabil secara emosional. Mereka bukan lagi orang yang mencari-cari objek pemenuhan kasih sayang,” tambahnya.


Kesulitan membagi waktu memang diakui oleh Angelina, walaupun hal ini tak mematahkan semangatnya untuk mengadopsi secara legal. “Saya sadari, sebagai orang tua tunggal, saya sering harus berperang pada diri sendiri setiap kali meninggalkan anak. Misal-nya, ketika rapat di malam hari atau tugas ke luar negeri yang bisa memakan waktu 10 hingga 14 hari,” ujarnya. Aktivitasnya yang padat inilah yang membuat Rena 4 bulan terakhir lebih memilih tinggal bersama ibu kandungnya. Hal ini jelas membuat Angelina merasa sedih dan kehilangan.


Sementara, menurut Rin, anggapan bahwa adopsi yang dilakukan si lajang sering dipersulit, sama sekali tidak benar. Menu­rutnya, sudah berpuluh-puluh lajang berhasil mengadopsi dari Yayasan Sayap Ibu. Diakui Rin, ada perbedaan antara adopsi yang dilakukan si lajang dan yang sudah menikah, yaitu keputusan akhir pengadopsian ada di menteri sosial. Setelah ada persetujuan, baru sidang pengadopsian bisa dijalankan.  

SEBAIKNYA TIDAK DITUTUPI
Menurut Vera, inti mengangkat anak adalah membesarkan untuk kepentingan anak tersebut, bukan untuk diri sendiri, dan mampu memberikan cinta tak bersyarat. Untuk bisa memberikan cinta tanpa pamrih itu, diakui Vera, orang tua angkat harus berdamai dengan kenyataan dan tidak berekspektasi. Ketakutan jika di kemudian hari si anak akan meninggalkannya atau mempunyai gen yang kurang baik, harus dihilangkan. Rasa malu atau waswas jika status si anak nantinya diketahui orang lain, juga harus dikikis. Selain itu, cinta tak bersyarat tak hanya disampaikan lewat kata-kata, melain-kan juga perbuatan. Buatlah anak merasa nyaman dan dicintai, sekalipun dia sedang tak berprestasi atau berbuat kesalahan.

Potret cinta tanpa hitung-hitungan itu tampak pada pasangan Hermalia dan Rudiawan Saleh, yang berkeras mengadopsi Tegar. Tegar yang cacat secara fisik tak mereka indahkan. Niat tulus untuk menolong mengalahkan ketakutan mereka hidup membesarkan anak berkebutuhan khusus. ”Saat seorang dokter ortopedi yang saya hubungi memvonis Tegar tak bisa dipulihkan, jujur hati saya down. Tapi, bukan karena rasa takut atau malu membesarkan anak yang memiliki kelainan, melainkan tidak tega membayangkan seumur hidupnya Tegar harus tersiksa memakai sepatu besi yang berat dan tidak nyaman,” ujar Hermalia.


Walaupun kini Hermalia sedang mengandung bayi kembar tiga, diakuinya niat mengadopsi Tegar, yang sudah kembali normal, tetap kuat. ”Saya malah sakit hati ketika di akikahan Tegar ada kenalan yang berkomentar, ’Semoga kehadiran Tegar menjadi pancingan, sehingga saya bisa punya anak sendiri.’ Wong, saya mengangkat Tegar dengan niat tulus untuk membesarkan dia layaknya anak kandung sendiri,” ungkapnya, serius. Bahkan, sejak Hermalia mengetahui dirinya mengandung, dia dan suami sudah memulai pembicaraan bagaimana membagi perhatian secara adil, sehingga Tegar tak merasa ditinggalkan.


Begitu juga dengan pasangan Novita Angie dan Haryo Sapto Rajasa yang mengadopsi Jeremy Cornelius dari kerabat Angie. Saat mengetahui dirinya hamil, dia sempat bingung saat orang memberi selamat, bisa hamil karena ’pancingan’-nya berhasil. ”Pasalnya, saya tulus menyayangi dan mencintai Jeremy. Tak ada niatan untuk menggunakan Jeremy demi tujuan lain. Dia adalah anak kami, dan anak yang lahir dari rahim saya adalah adiknya,” jelas Angie panjang lebar.


Angie dan Haryo sejak awal juga sudah memutuskan status Jeremy bukanlah sesuatu hal yang perlu dirahasiakan. Bahkan, minimal setahun sekali Angie mempertemukan Jeremy dan orang tua kandungnya. Tidakkah Angie takut Jeremy akan berpaling darinya? ”Kalau memang Jeremy lebih memilih tinggal bersama orang tua kandungnya, saya tak bisa berbuat banyak. Tapi, yang terpenting bagi saya, Jeremy tak merasa dibohongi,” ujarnya, yakin.


Apakah status anak adopsi perlu diinformasikan kepada si anak? Menurut Vera, sebaiknya sejak dini hal ini tak ditutup-tutupi. Akan lebih menyakitkan jika akhirnya dia tahu dari orang lain, saat dia sudah remaja. Anak akan mengalami krisis identitas, karena merasa dirinya ditipu oleh orang-orang terdekatnya. Sebaliknya, bila sengaja ditutupi, orang tua pun menghadapi masalah. Bisa jadi setiap hari mereka dihantui rasa cemas, karena takut rahasia besarnya bocor. Bahkan, menurut Vera, rasa ketakutan itu tidak jarang membuat orang tua tidak rasional. Misalnya, sering pindah rumah dan berganti pembantu. Dan, tentu saja, hal tersebut akan berdampak buruk pada perkembangan emosi anak.  Padahal, jika diberi tahu sejak awal, orang tua dapat lebih relaks dan enjoy membesarkan anak.


Vera mengatakan, saat tepat membuka hal ini kepada anak adalah saat ia sudah memahami konsep identitas diri. ”Sebaiknya, sih, di usia 5-6 tahun. Cara memberi tahunya pun disesuaikan dengan umur mereka. Tidak secara blakblakan, tapi mulailah lewat film yang mengambil latar belakang panti asuhan atau didongengi. Sehingga, anak bisa memahami kenyataan bahwa dari kecil ada anak yang orang tuanya meninggal. Atau, tak bisa membesarkan mereka karena alasan tertentu,” papar Vera.


Jika ia sudah tampak memahami, penjelasan terbaik adalah dengan menggunakan kata-kata yang mengangkat rasa percaya diri si anak. Misalnya, dengan mengatakan, ”Kami memang orang tua angkat kamu. Kami mengangkat kamu karena kamu spesial dan kami berdua sangat mencintaimu.”


Umumnya, anak yang diberi tahu sejak dini dan tetap dilimpahi kasih sayang, reaksi kaget atau penolakannya takkan lama. Rasa percaya diri pun akan tumbuh subur, selama orang tua angkat mampu memberikan cinta tak bersyarat. Pasalnya, dia akan merasa dirinya berharga dan diakui. Menurut Vera, jika orang tua kandung dari anak yang diadopsi itu masih hidup dan tergolong kerabat, sebaiknya keberadaan mereka tak ditutup-tutupi. Latihlah anak untuk mengenal orang tua kandungnya sebagai ayah dan bunda, sementara Anda adalah papa dan mama. Cara ini yang terbaik untuk anak dan tak membuatnya terperosok dalam kebingungan.


Keterbukaan ini juga dipraktikkan oleh Angie yang membiasakan Jeremy memanggil orang tua kandungnya dengan sebutan papa-mama, sementara ia dan Sapto dipanggil mami-papi. ”Sejak dini saya tanamkan pada Jeremy untuk tak berkecil hati mempunyai dua orang tua. Ia justru mendapat kasih sayang yang komplet,” ungkapnya.


Begitu juga jika anak ini diambil dari yayasan sosial.  Ada baiknya, menurut Vera, ia diajak berkunjung ke ’akar’-nya setelah ia bisa memahami. Hal ini dapat membuat mata anak terbuka, bahwa dirinya lebih beruntung karena memiliki Anda sebagai orang tua.


Apa yang akan terjadi jika anak angkat mengetahui statusnya dari orang lain? Menurut Vera, reaksi awal anak adalah marah. Rasa marah ditunjukkan pada tiga objek. Pertama, pada diri sendiri karena merasa dirinya tak cukup berharga untuk dipertahankan orang tua kandungnya. Kedua, pada orang tua kandung yang tega membuangnya. Terakhir, pada orang tua angkat yang dianggap telah menipu dan menutupi asal-usulnya. Kalau kemarahan ini tak diselesaikan, dampaknya fatal. Anak ini bisa berkembang menjadi sosok yang agresif dan insecure.


Anda tentu tak ingin anak adopsi yang Anda kasihi hatinya terluka gara-gara keegoisan dan ketakutan diri Anda, ’kan? Sadarilah, setiap anak berhak tahu asal-usulnya, dan kejujuran, betapapun pahitnya, akan lebih indah dibandingkan kebohongan.


Penulis: Joanita Roesma


[Dari femina 5 / 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan anda....komentar dong.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Terbaru

Daftar Blog Saya