Rabu, 18 April 2012

Suara Muhammadiyah tentang Adopsi


Oleh Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.

SETELAH melaksanakan pernikahan, pasangan suami isteri mana pun umumnya mulai menunggu dengan harap-harap cemas kehadiran anak. Ada yang segera dianugerahi oleh Allah SWT anak dan ada juga yang harus bersabar menunggu beberapa tahun. Tetapi tidak sedikit pula yang tidak beruntung mendapatkan anugerah itu. Keinginan menjadi ibu dan bapak adalah fitrah setiap orang yang sudah berkeluarga. Hanya orang yang tidak normal saja yang tidak ingin mempunyai anak. Dengan fitrah itulah eksistensi umat manusia tetap terjaga.  
Sekalipun suami isteri sudah dapat hidup dengan harmonis, tenteram dan damai, tetapi rasanya masih ada yang kurang bila belum mendapatkan anak. Ibarat berpakaian, sekalipun sudah lengkap menutupi aurat, tapi rasanya masih ada yang kurang sebelum ada satu dua perhiasan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan memang anak–anak adalah perhiasan hidup dunia.

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Q.S. Al-Kahfi 18:46)
Di samping naluri, banyak alasan kepada orang tua ingin punya anak. Ada yang menginginkan anak untuk meneruskan garis keturunan. Dia menganggap garis keturunannya akan punah jika sama sekali tidak punya anak Alasan ini menjadi semakin kuat bagi orang-orang yang punya status sosial yang tinggi di tengah-tengah masyarakatnya. Apalagi bagi raja-raja atau sultan-sultan yang mewariskan kerajaan atau kesultanannya kepada anak-anaknya. Alangkah risaunya seorang raja bila tidak dianugerahi Allah SWT seorang anak pun.
Ada juga yang memikirkan bisnis dan harta kekayaannya yang melimpah. Siapa yang akan mewarisi semua kekayaannya jika dia sudah meninggal dunia. Siapa yang akan meneruskan dinasti bisnisnya. Dia mengganggap sangat merugi bila kerajaan bisnis yang sudah susah payah dibangunnya itu jatuh kepada orang lain karena dia tidak punya anak.
Di samping itu ada juga yang merisaukan siapa yang akan mendo’akannya kelak apabila sudah meninggal dunia jika dia tidak punya anak. Bukankah anak yang saleh akan selalu mengalirkan pahala kepada kedua orang tuanya sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:


“Jika seseorang mennggal dunia putuslah (pahala) amalannya kecuali salah satu dari tiga hal: Shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat yang dapat diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendo’akannya” (H.R. Muslim)
Yang lebih idealis, tidak merisaukan garis keturunan, kekuasaan dan harta kekayaan, tapi cita-cita dan perjuangan. Dia ingin sekali punya anak supaya dapat meneruskan cita-cita dan perjuangannya. Dari kalangan Nabi-nabi, contoh kerisauan ini dapat dilihat pada diri Nabi Zakaria ‘alaihi as-salam. Perhatikan dan renungkanlah do’a Nabi Zakaria tatkala memohon kepada Allah SWT supaya dianugerahi seorang putera yang akan meneruskan tugas-tugas kerisalahannya. 
ذِكْرُ رَحْمَةِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا(2)إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا(3)قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا(4)وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا(5)يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ ءَالِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا(6)
“(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakariya, yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo`a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya`qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai" (Q.S. Maryam 19:2-6)
Nabi Zakaria sudah tua. Dua tanda ketuaan disebut oleh Nabi Zakaria, pertama, tulang yang sudah lemah dan kedua, rambut yang sudah memutih penuh uban. Apalagi isterinya juga seorang perempuan yang mandul. Menurut ilmu manusia, sangat tipis kemungkinan Zakaria bisa mendapatkan anak. Tetapi karena kekhawatirannya yang sangat tinggi tentang penerus risalah sepeninggalnya, Nabi Zakariya dengan penuh harap memohon kepada Allah SWT untuk dianugerahi seorang putera yang akan menjadi pewaris Zakaria dan sebagian keluarga Ya’qub.
            Menurut Ibnu Katsir (III:142), yang dimaksud dengan mewarisi Zakaria dan sebagian keluarga Ya’qub, bukanlah mewarisi harta kekayaan karena Zakaria, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berprofesi sebagai tukang kayu yang tidak mempunyai harta kekayaan yang banyak. Lagi pula berdasarkan keterangan dari Rasulullah SAW, para Nabi tidak mewariskan kekayaan kepada keluarganya. Dalam hadits riwayat Tirmidzi Nabi bersabda: “Kami—para Nabi—tidak mewariskan kekayaan”.  Jadi, menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud oleh Nabi Zakaria, warisan yang diharapkan akan diterima oleh puter yang dimohonkannya itu adalah warisan kenabian (mirats an-nubuwwah).
            Do’a Nabi Zakariya dikabulkan Allah SWT dengan menganugeri beliau seorang putera yang namanya langsung diberikan oleh Allah sendiri, yaitu Yahya. Dan Yahya kelak akan menjadi Nabi yang meneruskan risalah yang disampaikan oleh bapaknya.
            Motivasi mulia seperti Nabi Zakaria itulah yang paling terpuji bagi seseorang dalam mengharapkan anak, walaupun motivasi-motivasi lain sebagaimana yang telah disebutkan di atas bukanlah terlarang. Tapi yang lebih penting dari sekadar meneruskan garis keturunan, mewarisi kekuasaan dan kekayaan, adalah meneruskan cita-cita dan perjuangan orang tuanya.
            Beberapa orang tua yang sudah lama tidak mendapatkan anak,  di samping tetap berusaha, mereka berdo’a dengan sungguh-sungguh tanpa putus asa kepada Allah SWT, akhirnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Tetapi tidak sedikit pula yang do’anya—Allah yang mengetahui hikmahnya—tidak dikabulkan oleh Allah SWT. Untuk orang-orang semacam ini biasanya berusaha memenuhi naluri menjadi orang tuanya dengan mengangkat anak, baik anak saudara atau kerabatnya sendiri, maupun anak orang lain yang sama sekali tidak punya hubungan darah dengannya.
            Dalam bahasa Arab, mengangkat anak seperti itu biasa disebut laqata (secara harfia berarti memungut) atau tabanni (menganggap anak). Dalam bahasa Belanda disebut adaptie, dan  dalam bahasa Inggris disebut adopt. Sedangkan istilah adopsi berasal dari adoption dengan arti pengangkatan anak. Dalam percakapan sehari-hari anak seperti itu lazim disebut anak angkat.
            Tadisi mengangkat anak ini sudah ada sejak zaman sebelum Nabi  Muhammad SAW diutus. Pada masa itu anak-anak yang diangkat atau diadopsi dianggap sama dengan anak kandung. Nabi sendiri punya seorang anak angkat yang bernama Zaid ibn Haritsah. Tadinya Zaid adalah budaknya Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi. Khadijah menghadiahkan Zaid kepada Nabi yang kemudian memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak dengan mengganti namanya dengan Zaid ibn Muhammad, bukan lagi Zaid ibn Haritsah. Di hadapan kaum Quraisy Nabi berkata: “Saksikanlah oleh kalian bahwa Zaid kuangkat menjadi anakku dan ia mewarisiku dan aku mewarisinya.
            Beberapa waktu kemudian, setelah beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul, turunlah wahyu mengoreksi masalah ini:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ(4)ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا ءَابَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q. S. Al-Ahzab 33:4-5)
            Dua ayat di atas mengoreksi sikap Nabi Muhammad SAW dan orang-orang Mekkah lainnya yang menganggap anak angkat sama dengan anak kandung. Allah SWT menegaskan, pengakuan itu sama sekali tidak dapat merobah status hukum anak angkat menjadi anak kandung. Oleh sebab itu anak angkat tidak boleh dinisbahkan kepada bapak angkatnya, tetapi tetap harus dinisbahkan kepada bapak kandungnya. Dalam kasus Zaid, tidak boleh disebut Zaid ibn Muhammad, tetapi tetap Zaid ibn Haritsah. Karena bukan anak kandung, dengan sendirinya status hukumnya tidak sama dengan anak kandung, tapi sama dengan orang lain. Oleh sebab itu antara anak angkat dengan orang tuanya tidak ada hubungan kewarisan dan hubungan kemahraman.
            Persoalan kemahraman ini perlu ditekankan, karena banyak yang menggap dan memperlakukan anak angkat sebagai mahram. Untuk menegaskan dan membuktikan bahwa anak angkat tidak punya hubungan kemahraman sama sekali dengan orang tuanya, Allah SWT sampai memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengawini Zainab, janda Zaid ibn Haritsah. Dalam tradisi Arab sebelum Islam, Nabi tidak boleh mengawini Zainab, mantan menantu angkatnya itu. Tapi Allah justru memerintahkan Nabi mengawininya.
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا(37)مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni`mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni`mat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. “ (Q.S. Al-Ahzab 33:37-38)
Setelah turunnya ayat-ayat di atas, seorang Muslim tidak boleh lagi memberlakukan anak angkatnya secara hukum sama dengan anak kandung. Lain masalahnya secara moril dan kasih sayang. Menyayangi anak orang lain seperti menyayangi anak sendiri adalah perbuatan mulia, tetapi semuanya itu tetap tidak dapat merubah status hukum dan segala konsekuensinya.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan anda....komentar dong.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Terbaru

Daftar Blog Saya