Rabu, 11 April 2012

PENGANGKATAN ANAK

PENGANGKATAN ANAK
oleh Advokat Suci Wulansari, S.H. pada 2 November 2010 pukul 10:44 ·
http://www.facebook.com/note.php?note_id=152384461471380

Pengangkatan anak di Indonesia kecuali dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku(misal, surat edaran MA. Ri No 6 tahun 1983 Jo No 2 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak), juga dilakukan dengan berbagai cara yaitu melalui lembaga adat, sesuai dengan Hukum adat masing-masing lingkugan hukum adat. dan ada pula ketentuan-ketentuan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam (Budiarto. 1991, 2).

Ada beberapa pendapat mengenai pengertian pengangkatan anak: Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku dimasyarakat yang bersangkutan (Shanty Dellyana, 1988:28)

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain kedalam keluarganya sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang mengambil anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan hukum (Soedharyo Soimin. 1992, 35)

Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga (Hilman Hadi Kusuma. 1992, 202).

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipunggut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri (Muderis Zaini, 1995: 5)

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang memberi kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti seorang anak yang sah (Djaja S. Meliala, 1982: 3).

Pengangkatan anak adalah mengangkat anak orang lain. Atau anak ini timbul hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat seperti hubungan orang tua dengan anak kandung (Soepomo, 1985: 76).

Pengangkatan anak adalah anak yang diambil oleh seseorang sebagai anaknya, dipelihara, dewasa. Diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Dan bila nanti orang tua angkatnya meninggal dunia, dia berhak atas warisan orang yang mengangkatnya (Amir Martosedono, !990:15)

Pengangkatan anak menurut Hukum adat serta akibat-akibat hukumnya dikemudian hari" bahwa pengangkatan anak adalah usaha untuk mengambil anak bukan keturunan dengan maksud untuk memelihara dan memperlakukan sebagai anak sendiri (B. Bastian Tafal, 1983:45)

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa pengangkatan anak adalah proses tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri yang diberi makan, pakaian, supaya tumbuh menjadi dewasa dan diperlakukan sebagai anaknya sendiri berdasarkan ketentuan- ketentuan yang disepakati bersama.

Jenis-jenis anak angkat dapat dibagi tiga yaitu: 1. Mengangkat anak bukan dari kalangan keluarga

Tindakan ini biasanya disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga semula, alasan pengangkatan anak adalah takut tidak ada keturunan. Pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan secara resmi dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat.

2. Mengangkat anak dari kalangan keluarga.

Salah satu alasan dilaksanakan pengangkatan anak adalah karena alasan takut tidak punya anak. Mengangkat anak dari kalangan keluarganya sendiri disebabkan untuk mempererat tali silaturohmi dan menjaga harta kekayaan agar tidak jatuh ketangan orang lain.

3. Mengangkat anak dari kalangan keponakan

Perbuatan mengangkat keponakan sebagai anak sendiri biasanya tanpa disertai dengan pembayaran-pembayaran uang ataupun penyerahan sesuatu barang kepada orang tua yang bersangkutan. (Soerojo Wignjodipoero, 1984: 117)

2. Latar Belakang Dilakukan Pengangkatan Anak

1. Menurut Djaja S. Meliala, (1982: 4) dalam bukunya berjudul "pengangkatan anak di Indonesia" latar belakang dilakukan pengangkatan anak.

a) Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya atau alasan kemanusiaan.


b) Tidak mempunyai anak dan keinginan anak untuk menjaga dan memelihara kelak dikemudian hari tua.

c) Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak dirumah maka akan mempunyai anak sendiri.

d) Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. e) Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja.

f) Untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan keluarga.


  2. Menurut Muderis Zaini, (1995: 15) dalam bukunya yang berjudul "Adopsi" Inti dari motif pengangkatan anak a) Karena tidak mempunyai anak.

b) Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberikan nafkah kepadanya.

c) Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua (yatim piatu).

d) Untuk mempererat hubungan kekeluargaan.

e) Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung.

f) Untuk menambah tenaga dalam keluarga.

g) Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak kandung.


  3. Menurut Hilman Hadikusumo (1990: 79) pengangkatan anak dilakukan karena alasan-alasan sebagai berikut:

a) Tidak mempunyai keturunan.


b) Tidak ada penerus keturunan.

c) Rasa kekeluargaan dan kebutuhan tenaga kerja.


  4. M. Budiarto, (1991: 16) dalam bukunya yang berjudul "pengangkatan anak ditinjau dari segi hukum" bahwa faktor atau latar belakang dilakukan pengangkatan anak, yaitu:

a) Keinginan untuk mempunyai anak, bagi pasangan yang tidak mempunyai anak.

b) Adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau sebagai "pancingan".

c) Masih ingin menambah anak yang lain jenis dari anak yang telah dipunyai.

d) Sebagai belas kasihan terhadap anak terlantar, miskin, yatim piatu dan sebagainya.

Dari pendapat-pendapat yang telah diuraikan diatas terlihat bahwa pada dasarnya latar belakang seseorang melakukan pengangkatan anak adalah tidak mempunyai keturunan, untuk mempertahankan ikatan perkawinan atau kebahagiaan, adanya harapan dan kepercayaan akan mendapatkan anak setelah mengangkat anak atau pancingan. Dengan demikian jelaslah pengangkatan anak merupakan sesuatu yang bernilai positif.

3. Macam- Macam Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia sudah banyak, susunan masyarakatpun berbeda-beda. Untuk wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh hukum adat yang berbeda-beda. Dalam upacara pengangkatan anak ada perbuatan yang dinamakan "Serah terima" yaitu penyerahan anak dari orang tua kandung terhadap calon orang tua angkat dan sebaliknya. Tetapi ada pula yang melaksanakan upacara pengangkatan anak tanpa adanya serah terima tersebut. Akibatnya dalam pratek mengalami masalah yaitu dalam hal menentukan apakah anak itu diangkat secara hukum.

Berdasarkan hal tersebut diatas dengan melihat ciri-ciri lahiriah dan cara- cara pengangkatan anak di Indonesia, maka dapat dibagi 4 macam, yaitu sebagai berikut: (1) Pengangkatan anak yang umum, (2) Pengangkatan anak yang khusus, (3) Pengangkatan anak yang menyerupai, (4) Pengangkatan anak secara pura- pura. (Woerjanto, 1987: 7)

1. Pengangkatan anak secara umum, Dengan melihat caranya, maka masih dapat dibedakan dua macam yaitu:

a.Pengangkatan anak secara tunai atau terang.

Pengertian tunai adalah suatu perbuatan pengangkatan anak yang dilaksanakan dengan perpindahan si anak dari orang tua kandung keorang tua angkat yang dilaksanakan secara serentak dan dibarengi dengan tindakan simbolis berupa penyerahan barang-barang tertentu yang mempunyai makna atau tujuan magis yang megakibatkan hubungan si anak dengan orang tua kandungnya menjadi putus setelah terjadinya upacara penyerahan anak angkat tersebut.

Pengertian terang adalah bahwa suatu perbuatan pengangkatan anak yang dilakukan dihadapan dan diumumkan didepan orang banyak, dengan resmi secara formal, dianggap semua orang mengetahuinya.


b.Pengangkatan anak secara tidak terang atau tidak tunai.

Pengertian tidak terang adalah pengangkatan anak itu dilakukan dengan tidak terikat pada suatu upacara tertentu, disamping itu mengenai kesaksian dan campur tangan dari pemuka-pemuka adat atau pejabat setempat dimana pengangkatan anak itu dilakukan.

Dan pengertian tidak tunai adalah pengangkatan anak ini tidak merupakan keharusan untuk melakukan berbagai tindakan simbolis atau penyerahan barang- barang yang mempunyai maksud dan tujuan magis religius (Bushar Muhammad, 1991: 33).

c.Pengangkatan anak yang khusus

Pengangkatan anak yang khusus disini karena mengandumg beberapa aspek atau syarat yang khusus dan khas untuk bentuk-bentuk tertentu ini. Pengangkatan anak yang secara khusus ini dapat terjadi dengan bermacam-macam hal, misalnya: Di Bali, Di daerah bali ada semacam pengangkatan anak yang diaambil dari istri yang kurang mulia, yang mana hal ini disebut dengan "NYENTANAYANG". Hal ini dilakukan karena istri selirnya tersebut adalah anak perempuan maka anak tersebut adalah anak laki-laki. Di Bali anak tersebut dinamakan "anak sentara" dan bila anak perempuan ini melangsungkan pernikahan, maka anak yang dikawinkan dengan cara "semada" atau disebut tanpa adanya jujur atau yang sejenis dengan mas kawin. Sehingga si suami ikut masuk ke lingkungan si istri. Suami yang dimaksudkan disini disebut dengan "sentana terikan"


4. Syarat-Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak yang dilakukan oleh suatu keluarga yaitu melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu lingkungan keluarga yang tidak mempunyai anak kandung. Disamping itu maksud dari pengangkatan anak disini adalah untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul perceraian tetapi saat sekarang dengan adanya perkembangan motivasi dari pengangkatan anak kini telah berubah yakni demi kesejahteraan anak yang diangkat.

Seorang yang akan mengangkat anak harus sudah mempunyai tujuan, hal ini sangat penting karena anak yang akan diangkat menjadi anak angkat adalah bersifat tetap dan untuk selama-lamanya.

Syarat-syarat untuk mengadakan pengangkatan anak yaitu sebagai berikut:

a) Persetujuan orang yang melakukan pengangkatan anak.

b) Jika anak lahir diluar nikah maka perlu adanya persetujuan dari orang tua yang mengakuinya, jika tidak ada pengakuan maka diperlakukan persetujuan dari wali dan balai harta penginggalan didalam hal anak belum dewasa.

c) Persetujuan dari orang yang akan diangkat jika ia telah mencapai usia 15 tahun.

d) Jika pengangkatan anak dilakukan oleh seorang janda maka perlu persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari suami yang telah meninggal dunia, dan jika orang ini telah meninggal dunia atau tidak berada di Indonesia. Maka harus ada persetujuan dari dua anggota keluara laki-laki yang telah dewasa yang ditinggal di Indonesia dari pihak ayah dari suami yang telah meninggal dunia sampai dengan derajat keempat (STAABLAD 1917 Nomer 129 pasal

1. Syarat-Syarat pengangkatan Anak menurut Hukum Barat.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW, tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur mengenai syarat-syarat pengangkatan anak, maka pemerintah Hindia Belanda membuat suatu aturan tersendiri tentang pengangkatan anak dengan mengeluarkan Staats blad tahun 1917 nomer: 129. Mengenai syarat-syarat tentang pengangkatan anak diatur dalam staats blad tahun 1917 Nomar: 129 pasal 8 disebutkan ada 4 syarat, yaitu:

a) Persetujuan orang yang mengangkat anak.

b) Apabila anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya, maka diperlukan ijin dari orang tua itu, apabila bapak sudah wafat dan ibunya telah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan balai harta peninggalan selaku pengawas wali.

c) Apabila anak yang diangkat itu sudah berusia 15 tahun, maka diperlukan pula persetujuan dari anak itu sendiri.

Sedangkan berdasarkan surat edaran nomor 6 tahun 1983 bahwa syarat- syarat bagi perbuatan pengangkatan anak warga negara Indonesia yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

2. Syarat-syarat bagi orang tua angkat:

a) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat diperbolehkan.


b) Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sah atau belum menikah diperbolehkan.

3. Syarat-syarat bagi calon anak yang diangkat:

a) Dalam hal calon anak tersebut berada dalam asuahan suatu yayasan sosial harus dilampirkan. Surat ijin tertulis Menteri Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diijinkan bergerak dibidang kegiatan pengangkatan anak.

b) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud diatas harus pula mempunyai ijin tertulis dari Menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diijinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat. (Ali Afandi, 2000: 150).

4. Syarat-syarat pengangkatan anak menurut Hukum Adat

Dalam prosedur pengangkatan anak menurut hukum adat banyak cara dapat dilakukan untuk pengangkatan anak terutama di Indonesia yang mempunyai ragam pengangkatan anak.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa syarat-syarat pengangkatan anak adalah persetujuan dari orang tua sendiri kepada orang tua angkat melalui upacara adat di masing-masing desa dan persetujuan dari dua anggota keluarga dari yang mengangkat dan diangkat

Tujuan pengangkatan anak pada dasarnya adalah:

a) Untuk mempertahankan keturunan dan sebagai kelangsungan hidup dari yang mengangkat anak. Juga diharapkan agar supaya kelak dikemudian hari apabila orang tua angkatnya sudah tidak mampu lagi bekerja maka si anak tersebut diharapkan akan dapat memelihara dan memberi nafkah sampai orang tua angkatnya meninggal dunia.

b) Untuk mempertahankan lingkungan kekeluargaan.

c) Untuk menambah kentetraman dan kebahagiaan dalam hidup rumah tangga, karena sudah barang tentu orang yang dalam keluarga tidak mempunyai anak maka merasa gelisah dan kurang tentram serta sepi dalam rumah tangganya.

d) Untuk memperkuat tali persaudaraan dengan orang tua anak yang diangkat.

e) Adanya kepercayaan bahwa karena pengangkatan anak itu kemudia akan mendapat anak sendiri dalam hal ini yang disebut anak pancingan.

f) Karena adanya rasa belas kasihan, mereka ingin menolong anaknya yang hidupnya kekurangan dan terlantar.

g) Untuk mendapatkan bujang, yang dapat membantu pekerjaan orang tuanya dirumah. (Djaja S Meliala, 1982: 4).

5. Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak

Proses pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat antar daerah satu dengan daerah lain terdapat perbedaan sesuai dengan hukum adatnya masing- masing.

Pengangkatan anak di Jawa, biasanya anak angkat diambil dari keponakannya sendiri atau dari lingkungan keluarganya sendiri. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan lain untuk mengangkat anak yang bukan kerabatnya sendiri, bahkan mengangkat anak yang tidak diketahui siapa orang tua kandung seperti misalnya anak yang diambil dari panti asuhan.


Dalam hukum adat Jawa, perbuatan pengangkatan anak tidak dilakukan melalui suatu upacara tertentu yang tidak diharuskan. Tetapi hanya diadakan suatu selamatan dengan mengundang tetangga-tetangga yang terdekat dengan orang tua angkat, yang bertujuan untuk keselamatan untuk semua pihak.

Biasanya diadakan selamatan setelah adanya persetujuan antara orang tua kandung dengan calon orang tua angkat, atau setelah orang tua angkat menerima anaknya dari panti asuhan atau rumah sakit yang dimintai bantuannya. Pada selamatannya biasa diundang keluarga dan tetangga dekat dari orang tua angkat dengan atau tanpa dihadiri oleh kepala desa. (Bushar Muhammad, 1981: 34)

Dengan adanya proses pengangkatan anak tersebut, dapat dilaporkan kepada kepala desa atau dapat juga tidak dan biasanya kepala desa tidak mengadakan pencatatan mengenai pengangkatan anak tersebut.

Sedangkan proses pengangkatan anak di lampung dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu;

a) Secara biasa, yang dilakukan di pengadilan negeri dan tidak diakui oleh adat. b) Secara adat, upacaranya dilakukan disuatu tempat tertentu atau kampong tempat asal orang tuanya yang mengangkat anak tersebut, yang termasuk dalam masyarakat hukumnya. Yang turut hadir adalah pemuka-pemuka dalam adapt setempat yang disebut "penyimbang adat". (Surojo Wignjodiporo, 1967: 118)

Proses pengangkatan anak tersebut menurut hukum adat lampung dianggap telah dilakukan dengan tunai dan resmi apabila telah dipenuhinya syarat-syarat adat kepada pemberian benda-benda yang mempunyai arti magis kepada orang tua kandung. Selanjutnya proses pengangkatan anak di Bali lain lagi. Setelah adanya persetujuan antara pihak orang tua yang melepaskannya anak dengan pihak orang tua yang akan mengangkat anak, sebelum upacara pengangkatan anak dimulai terlebih dahulu dilakukan pengumuman oleh juru desa tentang adanya pengangkatan anak. Pengumunan itu bertujuan untuk memberi kesempatan kepada orang sedesa, apabila ada yang menyatakan keberatan maka upacara pengangkatan anak tidak dapat dilangsungkan sebelum adanya penyelesaian. Dan apabila perlu untuk menyelesaikannya keberatan tersebut dapat dilakukan musyawarah dihadapan camat, dan jika gagal bagi camat dapat menyarankan penyelesaaian untuk dilanjutkan kepengadilan. Tetapi apabila setelah adanya pengumuman tersebut tidak adanya yang menyatakan keberatan akan adanya pengangkatan anak, maka setelah dua minggu atau lebih dapat dilakukan suatu upacara yang dinamakan "Pemerasan".

Dalam upacara tersebut biasanya dilakukan pembayaran yang bersifat magis, berupa uang keping bolong kepada orang tua kandung anak angkat. Upacara pemerasan dilaksanakan dihadapan seorang penghulu adat atau pendeta dengan saksi perangkat desa yang bersangkutan. Selanjutnya upacara pemerasan tersebut dalam bentuk surat dilaporkan kepada kepala desa untuk seterusnya disampaikan kepada camat. Oleh camat diadakan pengumuman lagi tentang pengangkatn anak dan setelah tiga bulan tidak ada yang menyatakan keberatan akan adanya pengangkatan anak, maka camat mengeluarkan suatu keputusan yang berupa pengesahan pengangkatan anak tersebut. Pengumuman "Pemerasan" ini menurut hukum adat Bali merupakan syarat mutlak adanya pengangkatan anak.


Dengan berdasarkan beberapa contoh proses pengangkatan anak menurut hukum adat, menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.

Di Indonesia kesamaan sifat hukum adat dalam hal pengangkatan anak berarti bahwa:

a) mBersifat religius-magis, bahwa sesuatu yang nampak secara lahir bukan banyak sesuatu yang berbentuk lahir saja akan tetapi harus dinilai secara batin. Pengangkatan anak dilakukan melalui upacara tertentu yaitu upacara peralihan (Rites De Passage), yang mengandung maksud untuk keselamatan semua pihak.

b) Bersifat komunal, bahwa perbuatan pengangkatan anak itu bukan hanya urusan pihak orang tua yang mengangkat dan orang tua kandung saja, tetapi juga merupakan urusan yang bersifat kekeluargaan yang menyangkut kerabat yang bersangkutan serta masyarakat dimana mereka merupakan bagiannya.

c) Bersifat kontan, bahwa suatu perbuatan hukum itu dianggap telah terjadi dengan diberikannya tanda-tanda yang dapat dilihat.

d) Bersifat konkrit, bahwa suatu perbuatan hukum itu dalam pelaksanaannya harus didasarkan pada kenyataan atau keadaan yang benar-benar terjadi. (Muderis Zaini, 1995: 42)

Demikianlah proses pengangkatan anak menurut S. 1917 NO. 129 dan menurut hukum adat. Dan dalam perkembanganya sekarang setelah melalui proses seperti diatas, untuk memperoleh kepastian hukum pengangkatan anak dimintakan pengesahan pengadilan negeri.


Ketentuan-ketentuan hukum tentang pengangkatan anak pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah hindia belanda dengan Staatsblad NO 129 tahun 1917 yang diatur dalam pasal 5 sampai dengan pasal 15 yaitu mengenai adopsi bagi golongan timur asing.

Kemudian keluar undang-undang No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan republik Indonesia yang didalam pasal 2 mengatur tentang pengangkatan anak. hal ini dimuat didalam Lembara Negara No 113 Tahun 1958 dan tambahan Lembaran Negara No. 1647.

Dalam Surat Edaran Direktur jendral Hukum dan perundang-undangan Departemen Kehakiman No. JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari 1978 diatur tentang prosedur Pengangkatan anak warga Negara Indonesia oleh orang asing.

Pada pasal 12 undang-undang No . 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak ditentukan motif Pengangkatan anak yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak, yang dimuat dalam lembaran negara tahun 1979 No. 32 dan tambahan Lembaran Negara No. 3143.

Juga diatur di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 6 Tahun 1983 sebagai penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan anak.

Pada pokoknya hukum perdata yang berlaku di Indonesia ada dua, yaitu Hukum perdata Barat dan Hukum perdata adat. Sedangkan kedudukan Hukum Islam apabila dilihat dari kedua sistem hukum tersebut adalah merupakan bagian dari hukum adat.


Hal ini sesuai dengan pendapat R Soepomo dalam buku "ADOPSI" (Muderis Zaini , 1995: 28) yang mengatakan bahwa Hukum adat adalah hukum non statuir yang sebagaian besar adalah hukum Islam" Untuk memperjelas anggapan dia atas Penulis akan mengutip teori Reception incomplexu dari van den berg dalam buku "ADOPSI" (Muderis Zaini, 1995: 28) Yang intinya sebagai berikut;

"Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan menurut ajaran ini, Hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti Hukum-hukum agama itu dengan setia, dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa suatu masyarakat apabila memeluk agama tertentu, maka Hukum adat masyarakat tersebut juga Hukum agama yang dipeluknya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ada tiga sistem Hukum perdata yang berlaku di Indonesia yaitu Hukum Perdata Barat, Hukum Perdata Adat dan Hukum Perdata Islam. Dan bertolak Ketiga sistem hukum yang berlaku di indonesia tersebut, maka penulis akan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan pengangkatan anak yang ditinjau dari sudut Hukum barat, Hukum Adat, Hukum Islam.

1. Pengangkatan anak menurut Hukum Barat

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), kita tidak menemukan satu kesatuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. hanya mengenai pengakuan terhadap anak-anak luar nikah mengenai pengakuan terhadap anak-anak luar nikah dalam Buku 1BW bab XII bagian ketiga.


2. Pengangkatan anak menurut Hukum Adat

Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengangkat anak, terutama di Indonesia sendiri yang juga mempunyai aneka ragam sistem peradabannya.

Di seluruh lapisan masyarakat pengangkatan anak itu lebih banyak didasarkan pada pertalian darah, sehingga tidak jarang anak tersebut diambil dari lingkungan keluarga sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan dan untuk mempererat persaudaraan antara keluarga yang bersangkutan.

Dalam hukum adat yang berlaku di Indonesia, tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang boleh melakukan pengangkatan anak dan batas usianya Dalam bukunya Muderis Zaini yang berjudul'Adaptasi suatu tinjauan dari tiga sistem Hukum. "menyatakan bahwa usia antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat minimal berbeda 15 tahun, hal ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari pengadilan negeri banjarmasin.

Sedangkan di Kecamatan Singaraja Kabupaten Garut seorang perempuan yang belum pernah nikah tidak boleh melakukan pengangkatan anak, tetapi janda/duda diperbolehkan. Sedangkan dikecamatan Leuwidamar (Bandung) baik belum atau sudah nikah boleh melakukan pengangkatan anak, begitu pula di Kecamatan Banjarharjo, Brebes dan Semarang.

Di daerah Kendari Sulawesi Tenggara tidak ditemukan orang yang belum nikah mengangkat anak, begitu juga di daerah Kolaka, kecuali janda dan duda. Sedangkan di daerah Lombok Tengah belum di ketahui atau belum pernah seorang bujangan mengangkat anak.


Berkenaan dengan siapa saja yang dapat diangkat, umumnya dalam masyarakat Hukum Adat Indonesia tidak membedakan apakah anak laki-laki atau perempuan, kecuali di beberapa daerah kecamatan Leuwidamar (Bandung) disini anak perempuan tidak bisa dijadikan anak angkat, juga di Kabupaten Kupang, Alor, Lampung, Peminggiran Kecamatan Kedondong, sebab masyarakat menganut sistem garis keturunan laki-laki (patrilinel). Dalam hal usia, Kecamatan Garut yang dijadikan anak angkat adalah dibawah usia 15 Tahun dan dapat pula diatas 15 tahun asalkan belum kawin. Sedang di Kecamatan Cikajang biasanya anak yang diangkat adalah sejak masih bayi sampai anak tersebut berumur 3 tahun. Kemudian di daerah Parindu Kalimatan Barat, seorang anak mulai dapat diangkat sebagai anak angkat biasanya setelah lepas dari susu ibunya.

Di Kecamatan Sambas tidak ditentukan batas usia, melainkan faktor kelayaan yang harus diperhatikan, Yaitu umur anak yang diangkat dan orang tua yang sebelumnya mengangkat harus mempunyai perbedaan yang sesuai sebagai anak dengan orang tuanya sendiri. Di Kecamatan Kendari umumnya anak yang diangkat sejak kecil berusia 1-6 tahun. Dalam kaitannya dengan keluarga dekat, luar keluarga atau orang asing, maka pada masyarakat di Indonesia juga terdapat Kebhinekaan atau variasinya. Misalnya Perbuatan mengangkat anak di Bali yang disebut "NGENTANAYANG", biasanya anak yang diangkat diambil dari salah satu clan yang ada hubungannya dengan tradisionalnya. yang disebut "purusan" akhir-akhir ini juga terdapat anak angkat yang diambil dari luar clan.

Sedangkan di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah lainnya, pada umumnya anak angkat diambil dari Keponakannya. Pengangkatan anak dari kalangan keponakanya sesungguhnya merupakan pergeseran hubungan keluargaan dalam lingkungan keluarga. Lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran berupa uang atau penyerahan sesuatu barang kepada orang tua anak sebenarnya, yang pada hakekatnya masih saudara sendiri dari orang yang mengangkat anak tersebut. Mengangkat anak yang bukan berasal dari warga keluarga biasanya disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Selain itu dilakukan pula upacara adat dengan dibantu kepala adat. Berkenaan dengan masalah tata cara pengangkatan anak sebenarnya beranekaragam, sesuai dengan keanekaragaman sistem masyarakat adat kita, sekalipun secara esensial tetap mempunyai titik persamaan.

Di Lampung Utara misalnya, tata cara Pengangkatan anak ini dilakukan dengan upacara pemotongan kerbau, yang dihadiri oleh anggota keluarga, sedangkan pada masyarakat suku mapur di Kabupaten Bangka Pengangkatan anak dilakukan cukup dengan meminta langsung kepada orang tua calon anak angkat, kemudian dilaporkan juga kepada kepala adat. tetapi jika tidak dilaporkan juga tidak menjadi halangan, sebab mereka beranggapan bahwa orang tua si anak lebih berkuasa dari pada kepala adat.

Demikianlah pengangkatan anak yang terjadi dalam masyarakat hukum kita, meskipun masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda- beda akan tetapi masih mempunyai sifat yang kebersamaan antar berbagai daerah hukum dan ini tentunya akan mewarnai kebhinekaan kultural suku bangsa Indonesia. (M. Budiarto, 1991: 15-16)


3. Pengangkatan anak menurut Hukum Islam

Agama Islam mendorong seorang muslim untuk memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar dan lain-lain. Tetapi tidak boleh memutuskan hubungan dan hak-haknya dengan orang tua kandungnya. Karena hal ini jelas bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam Al-Qur an surat Ahzab ayat 4 dan 5 yang artinya: "…dan dia menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri) yang demikian itu hanyalah perkataan dimulut saja. Dan ALLAH mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang bener"

"Panggilan mereka (anak-anak itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka. Itulah yang adil pada sisi ALLAH dan jika kamu tidak bapak-bapak mereka, maka (Pangilan mereka) sebagai saudara-saudaramu, seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah ALLAH maha pengampun lagi maha penyayang"dari ketentuan di atas dapatlah diambil kesimpulan, bahwa yang dilarang dalam ajaran Islam adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal, dengan kata lain memberikan status yang sama dengan anak kandungnya sendiri. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan pengangkatan anak dalam pengertian yang terbatas yaitu hanya bersifat mengasuh anak dengan tujuan agar diperbolehkan. Pengangkatan anak disini ditekankan pada perlakuan sebagai anak dalam segi kecitaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya.


Pengambilan anak angkat seperti diatas adalah justru suatu amal yang baikdan teruji. Dan hal ini sesuai dengan misi keadilan dalam Islam. Karena agama Islam mengajurkan agar umat manusia saling menolong sesamanya.

Walaupun dalam ajaran Islam tidak mengalami pengangkatan anak, sedang yang ada hanya kebolehan atau suruan untuk memelihara anak angkat, namun menurut pandangan Islam yang diterapkan diIndonesia terlihat dari hasil rumusan team pengajian bidang hukum Islam pada pembinaan hukum nasional dalam seminar evaluasi pengkajian hukum 1980, 1981 di Jakarta telah mengusulkan pokok-pokok pikiran sebagai bahan untuk menyusun rancangan undang-undang tentang anak angkat yang dipandang dari sudut hukum Islam adalah sebagai berikut:

a) Lembaga pengangkatan anak tidak dilarang dalam ajaran Islam bahkan agama Islam membenarkan dan menganjurkan dilakukannya pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak dan kebahagiaan orang tua .

b) Ketentuan mengenai pengangkatan anak perlu diatur dengan undang-undang yang memadai.

c) Istilah yang dipergunakan hendaknya disatukan dalam perkataan "pengangkatan anak" dengan berusaha meniadakan istilah-istilah lain.

d) Pengangkatan ini tidak menyebabkan putusnya hubungan darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan keluarga orang tua anak yang bersangkutan.

e) Hubungan keharta-bedaan antara anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat dianjurkan untuk dalam hubungan hibah dan wasiat.


f) Dalam melanjutkan kenyataan yang terdapat dalam masyarakat hukum adat kita mengenai pengangkatan anak hendaknya diusahakan agar tidak berlawanan daengan hukum agama.

g) Hendaknya diberikan pembatasan yang lebih ketat dalam pengangkatan anak yang dilakukan orang asing.

h) Pengangkatan anak oleh orang yang berlainan agama tidak dibenarkan.


  Selanjutnya pendapat majelis ulama yang dituangkan dalam surat nomor U-335/V1/82 Tanggal 18 syaban 1402 H atau 10 juni 1982 adalah sebagai berikut:

a. Adopsi yang bertujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat dimaksudkan adalah boleh saja menurut Hukum Islam.

b. Anak-Anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan anak angkat oleh ayah atau ibu angkat yang beragama Islam pula, agar keIslamannya itu ada jaminan tetap terpelihara.

c. Pengangkatan anak tidak ada mengakibatkan kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasib keturunan. Oleh karena itu pengangkatan anak tidak mengakibatkan hak waris/wali mewali, dan lain-lain. Sehingga jika ayah/ibu angkat akan memberikan apa-apa kepada anak angkatnya hendaknya dilakukan pada masih sama-sama hidup sebagai hibah biasa.

d. Adapun pengangkatan anak yang dilarang adalah:

(a) Pengangkatan anak orang-orang yang berbeda agama Misalnya nasrani dengan maksud anak angkatnya dijadikan Pemeluk agama nasrani.


(b) Pengangkatan anak Indonesia oleh orang-orang Eropa dan Amerika atau lainnya, biasanya berlatar belakang seperti tersebut diatas.

Dengan demikiann sudah jelas, bahwa pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah diperbolehkan. Asalkan pengangkatan anak itu hanya bersifat pengasuh anak saja. (M. Budiarto, 1991: 17-20).

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengangkatan Anak

Anak angkat sebagaimana yang telah dikemukakan adalah seseorang yang bukan keturunan dua orang suami istri, yang dipelihara dan diperlakukan anak angkat keturunan sendiri. Dalam pengangkatan anak terjadilah faktor-faktor yang mempengaruhi pengangkatan anak, seperti faktor-faktor sosial, faktor-faktor psikologis dan lain-lain, maka tidak jarang faktor-faktor yang mempengaruhi pengangkatan anak menimbulkan problema dalam masyarakat.

Bahkan sering kali problema pengangkatan anak ini berangkat dari masalah motivasi pengangkatan anak itu sendiri yang berkembang lebih lanjut setelah anak itu mmpunyai status sebagai anak angkat. Masalah-masalah yang timbul berkenaan dengan pengangkatan anak ini secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam tiga sudut pandang.

a) Karena berangkat dari faktor-faktor yuridis, yaitu masalah yang timbul karena berkenaan dari akibat dari hukumnya dari adopsi itu sendiri.

b) Berkenaan dengan faktor-faktor sosial, yaitu yang menyangkut sosial efeknya dari perbuatan adopsi atau pengangkatan anak itu sendiri. (Muderis Zaini, 1995: 22)


Tinjauan terhadap masalah yang timbul karena berkenaan dengan faktor- faktor psikologis, yaitu masalah reaksi kejiwaan yang ditimbulkan oleh karena pengangkatan anak.

Dilihat dari segi faktor sosial juga tidak sedikit menimbulkan masalah perpindahan anak dari suatu kelompok keluarga kedalam kelompok keluarga yang lain sering disebabkan oleh alasan-alasan emosional. Ditambah pula adanya adopsi ini dilakukan sedemikian rupa, sehinggga anak anagkat yang bersangkutan baik secara lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri. Dalam pengangkatan anak dari keluarga lain untuk dijadikan anaknya sendiri menyebabkan timbulnya suatu hubungan keluarga yang baru dari memutuskan keluarga lama. Hal ini sering menimbulkan problema bila dihubungkan dengan masalah perkawinan antara anak angkat dengan keluarga dalam garis keturunan lurus dari orang tua angkat, dimana msyarakat menganggap hal ini kurang pantas. (Muderis zaini, 1995: 25).

Sampai sejauh mana putusnya hubungan kekeluargaan lama dengan ditimbulkannya hubungan kekeluargaan baru cukup mempengaruhi kehidupan anak tersebut, sering menimbulkan beberapa problema sosial apakah selain hubungan hukum putus pula hubungan moral, sosial dan psikologi dengan keluarga lama, sedangkan dilain pihak hak dan kewajiban yang manakah dalam kehidupan yang baru yang akan diperoleh hubungan hukum yang manakah yang dimaksud supaya anak tersebut dapat diterima dalam kehidupan sosial sebagai anggota baru. Kemudian dari pandangan faktor psikologis juga tidak sedikit masalah yang timbul, karena dimana kehidupan seseorang jelas kejadian dalam hidupnya selalu membawa pengaruh dalam jiwanya, entah membawa akibat baik dan buruk.

1. Akibat Status Hukum Pengangkatan Anak

Suatu perbuatan hukum akan selalu menimbulkan akibat status hukum pula dari perbuatan hukum itu. Dalam perbuatan hukum berupa pengangkatan anak, mempunyai konsekuensi terhadap harta benda, keluarga yang dilakukan dengan tanpa suatu bukti tertulis bahwa telah benar-benar dilakukan suatu perbuatan hukum. Hal ini akan menimbulkan permasalahan terutama mengenai beban pembuktian dihari kemudian apabila terjadi suatu sengketa.

Akibat status hukum dari pengangkatan anak dapat dibagi dua macam yakni:

a.Akibat hukum terhadap anak angkat.

Anak angkat mempunyai hak dalam hal pewarisan harta orang tua angkatnya. Perihal pewarisan terhadap anak angkat dari orang tua angkatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

- Anak yang diangkat masih mempunyai hubungan keluarga dengan orang tua yang mengangkatnya, maka hak waris dengan dua kemungkinan:

a) Bagi pengangkatan anak yang sama sekali tidak mempunyai keturunan selain anak yang diangkat, maka hak yang pewaris sejajar bagaimana hak mewaris anak kandungnya sendiri. Semua harta kekayaan orang tua angkatnya jatuh pada anak angkatnya sepanjang harta itu gono gini.


b) Bagi sebuah hubungan telah mempunyai anak namun masih mengangkat anak, maka hak mewaris anak angkat menjadi berkurang dan hal ini biasanya dilakukan dengan musyawaroh keluarga tersebut.

- Bagi seorang anak yang diangkat oleh sebuah keluarga dengan tidak ada hubungan kekeluargaan, maka mempunyai kedudukan yang lebih berarti atas hak yang ada pada anak angkat tersebut. (M. Budiarto, 1991: 23).

2.Akibat hukum terhadap orang tua angkat.

Sebagaimana halnya dalam pengangkatan anak, hak dan kewajiban orang tua angkat dengan anak yang diangkat harus pula seimbang sehingga keharmonisan dan keadilan hukum dapat tercipta.

Hak dari orang tua angkat adalah sebagaimana maksud ketika ia melakukan pengangkatan anak sesuai dengan latar belakang dan tujuan dari pengangkatan anak itu. Dalam hal kewajiban orang tua angkat sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah memelihara, mendidik dan mengasuh. (M. Budiarto, 1991: 21) Anak angkat adalah seseorang yang bukan keturunan dari seorng pasangan suami istri, yang dipelihara dan diperlakukan sebagai anak angkat keturunannya. Akibat hukum terhadap pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan hukum adat tersebut adalah, bahwa anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum terhadap orang yang mengangkatnya, dimana dibeberapa daerah di Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak keturunannya sendiri, termaksud hak untuk mendapatkan harta kekayaan orang tua angkatnya.

dari kumpulan file WYA..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan anda....komentar dong.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Terbaru

Daftar Blog Saya